Cari Blog Ini

Selasa, 21 Juni 2011

ALAS KETONGGO

Alas Ketonggo, adalah hutan dengan luas 4.846 meter persegi,
yang terletak 12 Km arah selatan kabupaten Ngawi. Jawa Timur.
Menurut masyarakat Jawa, Alas Ketonggo merupakan salah satu
dari kedua alas-angker / “wingit” di tanah Jawa. Disana terdapat
kerajaan makhluk-halus, begitu menurut masyarakat. Sedangkan
satu hutan lainnya adalah, Alas-Purwa di Banyuwangi. Alas
Purwa disebut dengan “Bapak”, sedangkan Alas Ketonggo disebut
dengan “Ibu”.
Menurut catatan, di Alas-Ketonggo terdapat lebih dari sepuluh (10)
tempat pertapaan :
Mulai dari Palenggahan-Agung-Srigati, Pertapaan-Dewi-Tunjung-
Sekar,
Sendang-Derajad,
Sendang-Mintowiji,
Goa Sidodadi Bagus,
Pundhen Watu Dakon,
Pundhen Tugu Mas,
Umbul Jambe,
Punden Siti Hinggil,
Kali Tempur Sedalem,
Sendang Panguripan,
Kori Gapit,
dan Pesanggrahan Soekarno.
PALENGGAHAN AGUNG SRIGATI
Lokasi Palenggahan Agung Srigati ini di wilayah Desa Babadan,
Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa-Timur. Konon, tempat
ini dulunya adalah tempat peristirahatan Prabu Brawijaya V setelah
lari dari kerajaan Majapahit karena kerajaan diserbu oleh tentara-
tentara Demak dibawah pimpinan R.Patah dan Wali-Sanga
( Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ). Dikatakan,
ditempat itulah Sang Prabu kemudian melepas semua tanda-tanda
Kebesaran-Kerajaan, yaitu jubah Beliau, Mahkota , dan semua
benda-benda Pusaka; konon, kesemuanya kemudian “raib”,
“moksa”. Dan lalu Sang Prabu melanjutkan perjalanan menuju
Gunung Lawu.
Yang merupakan petilasan Sang Prabu Brawijaya V adalah berupa
gundukan tanah yang tumbuh setiap hari dan mengeras bagaikan
membentuk batu-karang. Kini, gundhukan tanah tersebut, yang
didasari plesteran-semen ditutup keramik, dikelilingi oleh sebuah
bangunan berukuran 4X3 meter. Dinding rumah Palenggahan
Agung Srigati ini biasanya ditutupi bendera Merah-Putih panjang,
namun terkadang, penutupnya hanya berupa kain putih saja.
Didalam rumah-rumahan Palenggahan Agung ini, terdapat
berbagai benda-benda yang secara simbolik melambangkan
tanda-tanda kebesaran kerajaan Majapahit. Baik berupa mahkota
Raja, tombak-tombak pusaka, gong, dan lain-lainnya. Di dalam
ruangan ini sangat pekat aroma Dupa dan bunga-bunga, hal yang
sangat wajar kita temukan di sebuah tempat “sakral”. Dupa dan
taburan bunga-bunga ini berasal dari para pengunjung.
Pak Marji ( Juru Kunci ) menyatakan gundukan tanah tersebut
pada saat-saat tertentu tidak tumbuh menyembul, katanya saat
Indonesia mengalami suatu musibah atau peristiwa yang kurang baik, maka gundukan tanah tidak akan tumbuh. Bila gundukan
tanah tidak tumbuh, maka ini menjadi pertanda buruk bagi bangsa
dan negara, begitu katanya.
Pada saat terjadi krisis moneter 1997, tanah tersebut tidak
tumbuh, sehingga sama sekali tidak ada gundukan yang
menyembul.
Pada hari-hari tertentu, seperti Jumat Pon dan Jumat Legi, apalagi
di bulan Sura, masyarakat Jawa berbondong-bondong datang ke
Palenggahan ini. Pada saat-saat itu, warga banyak menguncarkan
“ doa” dan bertapa, memohon berkah kepada “yang Maha Kuasa”,
dari yang meminta berkah rejeki, karier, hingga perjodohan.
KISAH-KISAH MISTIS
Pak Marji menuturkan, banyak kisah mistis di Alas Ketonggo yang
berhubungan dengan situasi politik-nasional. Alkisah, menjelang
Soeharto (Presiden RI kedua) lengser pada tanggal 21 Mei 1998,
ada pohon jati yang mengering dan mati. Padahal sebelumnya,
pohon itu tumbuh seperti biasa.
Dua puluh tiga (23) hari sebelum Ibu Tien Soeharto meninggal
juga ada kejadian aneh, yaitu patahnya sebuah dahan pohon
besar di Alas-Ketonggo. Padahal saat itu tidak ada hujan tidak ada
angin.
Tanggal 20 Juli 2001, tiga hari menjelang Megawati Soekarnoputri
dilantik menjadi Presiden RI, muncul cahaya Biru dan Putih
bagaikan lentera diatas Kali Tempur Sedalem.
Cerita-cerita mistis seperti inilah yang membuat banyak orang
“ ngalab-berkah” ke Alas Ketonggo. Tidak jarang, bahkan para
pejabat-pejabat negara Republik Indonesia berkunjung ke tempat
ini mencari “orang-sakti” , atau untuk “mohon-petunjuk” kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, begitu katanya.
Sayangnya, jalan menuju Alas Ketonggo ( khususnya menuju
Palenggahan Agung Srigati ) ini sangat tidak terawat. Yang ada
hanya jalan berbatu (tanpa aspal) yang bergelombang, sempit.
Mungkin sebaiknya pemerintah memperhatikan perbaikan jalan
tersebut, supaya orang-orang yang ingin “nglakoni” atau bertapa
ke Alas Ketonggo bisa menempuh perjalanan dengan nikmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar